Selasa, 29 Januari 2008

Berita wafatnya Soeharto, pada hari Minggu, 27 Januari 2008 telah menjadi pusat perhatian bangsa Indonesia, bahkan masyarakat internasional. Televisi dan media massa lainnya banyak mempublikasikan tentang hal-hal berkaitan dengan wafatnya Presiden Kedua Republik ini, termasuk juga sejarah dan riwayat perjuangan hidupnya.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertai perjalanan hidupnya, wafatnya penguasa orde baru ini tampaknya bisa dijadikan momentum yang baik bagi seluruh anak bangsa ini sebagai bahan pembelajaran.
Pembelajaran pertama, bahwa kita harus menyadari kekuasaan dan gaya kepemimpinan otoriter bukan hal yang tepat bagi bangsa ini. Meski pertumbuhan ekonomi pada masa kekuasaannya sangat signifikan, tetapi fundasi yang diletakkannya tidaklah cukup kokoh untuk menghadapi berbagai tantangan perubahan, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal. Bangunan ekonomi yang dihasilkan dari pinjaman luar negeri menjadi luluh lantak hanya dalam hitungan hari saja dan anak-cucu kita harus menanggung beban untuk melunasinya.Kekuasaan otoriter memang sangat rentan dengan berbagai penyimpangan, seperti kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga saat ini belum bisa dibasmi tuntas, karena sudah sangat kuat mengakar, khususnya dalam jaringan birokrasi kita.
Pembelajaran kedua, meski sudah memasuki satu dasa warsa menghirup udara demokrasi, namun tampaknya masyarakat masih membutuhkan pembelajaran lebih banyak lagi tentang bagaimana sesungguhnya hidup berdemokrasi. Untuk bisa dan biasa hidup berdemokrasi memang tidak dapat dilakukan secara instan, namun membutuhkan kesabaran dan kesungguhan dari semua pihak. Dalam hal ini, pendidikan tentang demokrasi bagi seluruh anak negeri menjadi penting. Jika hal ini tidak dilakukan, maka masyarakat atau bangsa ini tetap saja tidak akan pernah tercerahkan dan alam tak sadarnya akan kembali merindukan bentuk kehidupan yang serba terkerangkeng, cenderung menyukai hidup untuk menjadi hamba ketimbang menjadi dirinya sendiri.
Kini Soeharto telah tiada, dan ketika semasa hidupnya dia seolah-olah menjadi sosok manusia yang tak dapat disentuh oleh hukum, entah karena budaya rikuh dari pada penegak hukum itu sendiri atau karena faktor lainnya sehingga kasus-kasus hukumnya menjadi terkatung-katung tanpa kepastian hingga akhir hayatnya. Penyelesaian kasus-kasus hukum tampaknya akan lebih berlangsung seru dihadapan di hadapan sang Khalik, dan disanalah keadilan yang sejati akan diperoleh, tentunya tanpa didampingi lagi para pengacara yang semasa hidupnya demikian gigih membelanya, melalui berbagai cara untuk menyelamatkannya dari berbagai jeratan hukum.
Bisakah kita semua belajar dari semua ini, sehingga kita bisa menatap dan menapaki kehidupan mendatang yang lebih baik lagi?

Tidak ada komentar: